Good Job

Good Job

Senin, 28 Maret 2011

PENANGANAN SHOCK RESUSITASI JANTUG PARU (RJP) SOP OBAT EMERGENCY/RESUSITASI

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang  
            B-GELS atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pertolongan Pertama Pada Gawat Darurat (PPGD) adalah serangkaian usaha-usaha pertama yang dapat dilakukan pada kondisi gawat darurat dalam rangka menyelamatkan pasien dari kematian.
Di luar negeri, PPGD ini sebenarnya sudah banyak diajarkan pada orang-orang awam atau orang-orang awam khusus, namun sepertinya hal ini masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat Indonesia.
Melalui artikel ini, saya ingin sedikit memperkenalkan PPGD kepada pembaca sekalian.
Prinsip Utama
            Prinsip Utama PPGD adalah menyelamatkan pasien dari kematian pada kondisi gawat darurat. Kemudian filosofi dalam PPGD adalah “Time Saving is Life Saving”, dalam artian bahwa seluruh tindakan yang dilakukan pada saat kondisi gawat darurat haruslah benar-benar efektif dan efisien, karena pada kondisi tersebut pasien dapat kehilangan nyawa dalam hitungan menit saja ( henti nafas selama 2-3 menit dapat mengakibatkan kematian).
            Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP)
BAB II
PEMBAHASAN

I.     PENANGANAN SHOCK

A.    Definisi Shock
Shock adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sirkulasi darah perifer/tepi yang menyeluruh, sehingga aliran darah ke jaringan perifer tidak memadai untuk menunjang hidup
B.     Prosedur
Persiapan
Alat :
1.      Tensimete
2.      Disposable spuit
3.      Kanula vena
4.      Infusion set
5.      Tabung oksigen beserta regulator dan flowmeter
6.      Nasala prong atau masker beserta slang
7.      Ambu bag

C.    Macam-Macam Shock

1.      Shock hipovolemik
2.      Shock kardiogenik
3.      Shock vasomotor
4.      Shock kombinasi dari ketiganya

D.    Sebab-Sebab Shock
1.      Shock hipovolemik
a.       Perdarahan external yang exesive (banyak)
b.      Kehilangan cairan tubuh yang banyak
c.       Pengeluaran cairan yang banyak melalui ginjal
d.      Kekurangan pemasukan cairan
2.       Shock Kardiogenik (volume darah cukup)
a.       Kegagalan ventrikuler
b.      Gangguan irama jantung
c.       Infark miokard
d.      Pneumothorak, embolus paru
e.       Tamponade jantung
3.      Vasodilatasi shock
a.       Sepsis (sepsis shock)
b.      Intoksikasi obat (anafilaktik shock)
c.        Trauma serebral (neurogenik shock)

E.     Gejala-Gejala Umum Shock

1.      Penurunan kesadaran/gelisah
2.      Hipotensi, tekanan sistolik < 90 mmhg
3.      Hipotensi perifer, kulit teraba dingin, lembab, nadi kecil dan cepat
4.      Perbedaan tekanan darah pada posisi terlentang dengan posisi duduk/berdiri lebih dari 10   mmhg
5.      Perbedaan frekuensi nadi pada posisi terlentang dengan posisi duduk >15 x/menit

F.     Tingkatan Shock
1.      Ringan (kehilangan volume darah <20%)
Tanda klinis: rasa dingin, hipotensi postural, takikardi, kulit lembab, urine pekat, diuresis   kurang, kesadaran masih normal
2.      Sedang (kehilangan cairan 20%-40% dari volume darah total)
Tanda klinis: penurunan kesadaran, delirium/agitasi, hipotensi, takikardi, nafas cepat dan
    dalam, oliguri, asidosis metabolik.

G.    Pedoman Awal Penanganan Shock

1.      Kenali macam shock dan penyebabnya
2.      Lakukan tindakan awal penanganan shock secara umum dengan segera
3.      Koreksi penyebabnya bila memungkinkan

H.    tindakan penanganan shock pada umumnya

1.      Penderita diterlentangkan dengan kaki ditinggikan
2.      Bebaskan jalan nafas
3.      Beri o2 5-6 lter/menit
4.      Pasang jalur infus nacl 0,9% atau rl 50 tetes/menit
5.      Obat-obatan:
a.    adrenalin pada kolaps kardiovaskuler yang berat diberikan secara SC / IM 0,3-0,5 cc atau 3 cc adrenalin 1 ampuls yang dilarutkan dalam 9 cc NaCl 0,9%
b.   oradexon/kortikosteroid 10-20 mg IV
c.    vasopresor, bila cairan saja tak memberikan hasil yang memadai (dopamine, dobuject/kombinasi)










II.   RESUSITASI JANTUG PARU (RJP)

A.    Definisi
      Resusitasi jantung paru merupakan usaha yang dilakukan untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali.

B.     Pengajaran resusitasi jantung paru (RJP) dibagi dalam 3 fase, yaitu :

1.      Bantuan Hidup Dasar (BDH).
2.      Bantuan Hidup Lanjut (BHL).
3.      Bantuan Hidup Jangka Lama.

9 langkah dengan menggunakan huruf  abjad
Fase I : untuk oksigenasi darurat, terdiri dari :
1)   Airway Control : penguasaan jalan nafas.
2)   Breathing Support : ventilasi bantuan dan oksigen paru darurat.
3)   Circulation Support : pengenalan tidak adanya denyut nadi dan pengadaan sirkulasi  
       buatan dengan kompresi jantung, penghentian perdarahan dan posisi untuk syok.

Fase II : untuk memulai sirkulasi spontan terdiri dari :
4)   Drugs and Fluid Intravenous Infusion : pemberian obat dan cairan tanpa menunggu  
       hasil EKG.
5)    Electrocardioscopy (Cardiography).
6)    Fibrillation Treatment : biasanya dengan syok listrik (defibrilasi).




Fase III : untuk pengelolaan intensif pasca resusitasi, terdiri dari :
7)   Gauging : menetukan dan memberi terapi penyebab kematian dan menilai sejauh
       mana pasien dapat diselamatkan.
8)   Human Mentation : SSP diharapkan pulih dengan tindakan resusitasi otak yang
       baru dan
9)    Intensive Care : resusitasi jangka panjang.


1.      Fase I (Bantuan Hidup Dasar)
            Bila terjadi nafas primer, jantung terus dapat memompa darah selama beberapa menit dan sisa O2 yang berada dalam paru darah akan terus beredar ke otak dan organ vital lain. Penanganan dini pada korban dengan henti nafas atau sumbatan jalan nafas dapat mencegah henti jantung. Bila terjadi henti jantung primer, O2 tidak beredar dan O2 yang tersisa dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik. Henti jantung dapat disertai dengan fenomena listrik berikut : fibrilasi fentrikular, takhikardia fentrikular, asistol ventrikular atau disosiasi elektromekanis.
            Penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi meliputi posisi pembukaan jalan nafas buatan dan kompresi dada luar dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat. Setiap langkah ABC RJP dimulai dengan penentuan tidak ada respon, tidak ada nafas dan tidak ada nadi.
            Pada korban yang tiba- tiba kolaps, kesadaran harus segera ditentukan dengan tindakan goncangan atau teriak yang terdiri dari menggoncangkan korban dengan lembut dan memanggil keras.
            Bila tidak dijumpai tanggapan hendaknya korban diletakkan dalam posisi terlentang dan ABC BHD hendaknya dilakukan. Sementara itu mintalah pertolongan dan bila mungkin aktifitaskan sistem pelayanan medis darurat.

1 .   Airway (Jalan Nafas)
Sumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring adalah merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien yang tidak sadar dengan posisi terlentang. Resusitasi tidak akan berhasil bila sumbatan tidak diatasi. Tiga cara telah dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka yaitu dengan metode ekstensi kepala angkat leher, metode ekstensi kepala angkat dagu dan metode angkat dagu dorong mandibula, dimana metode angkat dagu dorong mandibula lebih efektif dalam membuka jalan nafas atas daripada angkat leher.
Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher. Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat dengan tidak ada sianosis, korban sebaiknya diletakkan dalam posisi mantap untuk mencegah aspirasi. Bila tidak diketahui atau dicurigai ada trauma kepala dan leher, korban hanya digerakkan atau dipindahkan bila memang mutlak diperlukan karena gerak yang tidak betul dapat mengakibatkan paralisis pada korban dengan cedera leher. Disini teknik dorong mandibula tanpa ekstensi kepala merupakan cara yang paling aman untuk membuka jalan nafas, bila dengan ini belum berhasil dapat dilakukan sedikit ekstensi kepala.

2.    Breathing (Pernafasan)
Setelah jalan nafas terbuka, penolong hendaknya segera menilai apakah pasien dapat bernafas spontan atau tidak. Ini dapat dilakukan dengan mendengarkan gerak nafas pada dada korban. Bila pernafasan spontan tidak timbul kembali diperlukan ventilasi buatan.
Untuk melakukan ventilasi mulut ke mulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan diatas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau dua kali ventilasi dalam. Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi yang dalam sebesar 800 ml sampai 1200 ml setiap 5 detik.
Bila denyut nadi karotis tidak teraba, dua kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 15 kompresi dada pada resusitasi yang dilakukan oleh seorang penolong dan satu ventilasi dalam sesudah tiap 5 kompresi dada pada yang dilakukan oleh 2 penolong. Tanda ventilasi buatan yang adekuat adalah dada korban yang terlihat naik turun dengan amplitudo yang cukup ada udara keluar melalui hidung dan mulut korban selama respirasi sebagai tambahan selama pemberian ventilasi pada korban, penolong dapat merasakan tahanan dan pengembangan paru korban ketika diisi.
Pada beberapa pasien ventilasi mulut ke hidung mungkin lebih efektif daripada fentilasi mulut ke mulut. Ventilasi mulut ke stoma hendaknya dilakukan pada pasien dengan trakeostomi. Bila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing.
Pada tindakan jari menyapu, korban hendaknya digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain kedalam satu sisi mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen atau hentakan dada, sehingga tekanan udara dalam abdomen meningkat dan akan mendorong benda untuk keluar.
Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, teknik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah:
1.  Berikan 6 sampai 10 kali hentakan abdomen.
2.  Buka mulut dan lakukan sapuan jari.
3.  Reposisi pasien, buka jalan nafas dan coba beri ventilasi buatan dapat dilakukan  
   dengan sukses.
            Bila sesudah dilakukan gerak tripel (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong mandibula), pembersihan mulut dan faring ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan pipa jalan nafas. Bila dengan ini belum berhasil perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal, sebagai alternatifnya adalah krikotomi atau fungsi membrane krikotiroid dengan jarum berlumen besar (misal dengan kanula intravena 14 G). Bila masih ada sumbatan di bronkhus maka perlu tindakan pengeluaran benda asing dari bronkhus atau terapi bronkhospasme dengan aminophilin atau adrenalin.



4.      Circulation (Sirkulasi)
Bantuan ketiga dalam BHD adalah menilai dan membantu sirkulasi. Tanda- tanda henti jantung adalah:
a.       Kesadaran hilang dalam waktu 15 detik setelah henti jantung.
b.      Tak teraba denyut nadi arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakhialis pada bayi).
c.       Henti nafas atau megap- megap.
d.      Terlihat seperti mati.
e.       Warna kulit pucat sampai kelabu.
f.       Pupil dilatasi (45 detik setelah henti jantung)
g.      Tidak ada nadi yang teraba pada arteri besar, pemeriksaan arteri karotis sesering mungkin merupakan tanda utama henti jantung. Diagnosis henti jantung dapat ditegakkan bila pasien tidak sadar dan tidak teraba denyut arteri besar. Pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar diperlukan pada keadaan sangat gawat.
            Korban hendaknya terlentang pada permukaan yang keras agar kompresi dada luar yang dilakukan efektif. Penolong berlutut di samping korban dan meletakkan sebelah tangannya diatas tengah pertengahan bawah sternum korban sepanjang sumbu panjangnya dengan jarak 2 jari dari persambungan episternum. Tangan penolong yang lain diletakkan diatas tangan pertama, jari- jari terkunci dengan lurus dan kedua bahu tepat diatas sternum korban, penolong memberikan tekanan ventrikel ke bawah yang cukup untuk menekan sternum 4 sampai 5 cm.
            Setelah kompresi harus ada relaksasi, tetapi kedua tangan tidak boleh diangkat dari dada korban, dianjurkan lama kompresi sama dengan lama relaksasi. Bila ada satu penolong, 15 kompresi dada luar (laju 80 sampai 100 kali/ menit) harus diikuti dengan pemberian 2 kali ventilasi dalam (2 sampai 3 detik). Dalam satu menit harus ada 4 siklus kompresi dan ventilasi (yaitu minimal 60 kompresi dada dan 8 ventilasi). Jadi 15 kali kompresi dan 2 ventilasi harus selesai maksimal dalam 15 detik. Bila ada 2 penolong, kompresi dada diberikan oleh satu penolong dengan laju 80 sampai 100 kali/ menit dan pemberian satu kali ventilasi dalam 1 sampai 1,5 detik oleh penolong kedua sesudah tiap kompresi kelima. Dalam satu menit minimal harus ada 60 kompresi dada dan 12 ventilasi. Jadi lima kompresi dan satu ventilasi maksimal dalam 5 detik.
            Kompresi dada harus dilakukan secara halus dan berirama. Bila dilakkan dengan benar, kompresi dada luar dapat menghasilkan tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg, dan tekanan rata- rata 40 mmHg pada arteri karotis. Kompresi dada tidak boleh terputus lebih dari 7 detik setiap kalinya, kecuali pada intubasi trakheal, transportasi naik turun tangga dapat sampai 15 detik. Sesudah 4 daur kompresi dan ventilasi dengan rasio 15 : 2, lakukan reevaluasi pada pasien. Periksa apakah denyut karotis sudah timbul (5 detik). Bila tidak ada denyut lanjutkan dengan langkah berikut : Periksa pernafasan 3 sampai 5 detik bila ada, pantau pernafasan dan nadi dengan ketat. Bila tidak ada lakukan ventilasi buatan 12 kali per menit dan pantau nadi dengan ketat. Bila RJP dilanjutkan beberapa menit dihentikan, periksa apakah sudah timbul nadi dan ventilasi spontan begitu seterusnya

2.      Fase II (Banuan Hidup Lanjut)
            Bantuan hidup lanjut berhubungan dengan teknik yang ditujukan untuk memperbaiki ventilasi dan oksigenasi korban dan pada diagnosis serta terapi gangguan irama utama selama henti jantung. Bantuan hidup dasar memerlukan peralatan khusus dan penggunaan obat. Harus segera dimulai bila diagnosis henti jantung atau henti nafas dibuat dan harus diteruskan sampai bantuan hidup lanjut diberikan. Setelah dilakukan ABC RJP dan belum timbul denyut jantung spontan, maka resusitasi diteruskan dengan langkah DEF.
   Drug and Fluid (Obat dan Cairan)
        Tanpa menunggu hasil EKG dapat diberikan :
1.    Adrenalin : 0,5 – 1,0 mg dosis untuk orang dewasa, 10 mcg/ kg pada anak- anak.  
Cara pemberian : iv, intratrakeal lewat pipa trakeal (1 ml adrenalin diencerkan dengan 9    
     ml akuades steril, bukan NaCl, berarti dalam 1 ml mengandung 100 mcg adrenalin). Jika  
     keduanya tidak mungkin : lakukan intrakardial (hanya oleh tenaga yang sudah terlatih).  
     Di ulang tiap 5 menit dengan dosis sama sampai timbul denyut spontan atau mati jantung.
2.    Natrium Bikarbonat : dosis mula 1 mEq/ kg (bila henti jantung lebih dari 2 menit)
     kemudian dapat diulang tiap 10 menit dengan dosis 0,5 mEq/ kg sampai timbul denyut
     jantung spontan atau mati jantung.
Penggunaan natrium bikarbonat tidak lagi dianjurkan kecuali pada resusitasi yang lama,
yaitu pada korban yang diberi ventilasi buatan yang lama dan efisien, sebab kalau tidak
asidosis intraseluler justru bertambah dan tidak berkurang. Penjelasan untuk keanehan ini
bukanlah hal yang baru. CO2 yang tidak dihasilkan dari pemecahan bikarbonat segera
menyeberangi membran sel jika CO2 tidak diangkut oleh respirasi.
3.       EKG
Meliputi fibrilasi ventrikuler, asistol ventrikuler dan disosiasi elektro mekanis.
4.      Fibrilation Treatment (Terapi Fibrilasi)
Elektroda dipasang disebelah kiri puting susu kiri disebelah kanan sternum atas, defibrilasi luar arus searah:
100– 300 joule pada dewasa.
100 – 200 joule pada anak.
50– 100 joule pada bayi.

3.      Fase III (Bantuan Hidup Jangka Lama Atau Pengelolaan Pasca  
Resusitasi).
Jenis pengelolaan pasien yang diperlukan pasien yang telah mendapat resusitasi bergantung sepenuhnya kepada resusitasi. Pasien yang mempunyai defisit neurologis dan tekanan darah terpelihara normal tanpa aritmia hanya memerlukan pantauan intensif dan observasi terus menerus terhadap sirkulasi, pernafasan, fungsi otak, ginjal dan hati. Pasien yang mempunyai kegagalan satu atau lebih dari satu sistem memerlukan bantuan ventilasi atau sirkulasi, terapi aritmia, dialisis atau resusitasi otak.
Organ yang paling terpengaruh oleh kerusakan hipoksemik dan iskemik selama henti jantung adalah otak. Satu dari lima orang yang selamat dari henti jantung mempunyai defisit neurologis. Bila pasien tetap tidak sadar, hendaknya dilakukan upaya untuk memelihara perfusi dan oksigenasi otak. Tindakan ini meliputi penggunaan agen vasoaktif untuk memelihara tekanan darah sistemik yang normal, penggunaan steroid untuk mengurangi sembab otak dan penggunaan diuretik untuk menurunkan tekanan intracranial. Oksigen tambahan hendaknya diberikan dan hiperventilasi derajad sedang juga membantu.



4.       Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi.
Semua tenaga kesehatan dituntut untuk memulai RJP segera setelah diagnosis henti nafas atau henti jantung dibuat, tetapi dokter pribadi korban hendaknya lebih dulu diminta nasehatnya sebelum upaya resusitasi dihentikan. Tidak sadar ada pernafasan spontan dan refleks muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15 sampai 30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibawah efek barbiturat atau dalam anesthesia umum. Akan tetapi tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi. Tidak ada aktivitas listrik jantung selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal menandakan mati jantung.
Dalam resusitasi darurat, seseorang dinyatakan mati, jika :
1.      Terdapat tanda- tanda mati jantung.
2.      Sesudah dimulai resusitasi pasien tetap tidak sadar, tidak timbul ventilasi spontan  
dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15 sampai 30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik atau dibawah pengaruh barbiturat atau anestesia    umum.

Dalam keadaan darurat resusitasi dapat diakhiri bila ada salah satu dari berikut ini:
1.      Telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif.
2.      Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang lebih bertanggung jawab meneruskan resusitasi (bila tidak ada dokter).
3.      Seorang dokter mengambil alih tanggung jawab (bila tidak ada dokter sebelumnya).
4.      Penolong terlalu capek sehingga tak sanggup meneruskan resusitasi.
5.      Pasien dinyatakan mati
             Setelah dimulai resusitasi ternyata diketahui bahwa pasien berada dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tak akan pulih (yaitu sesudah setengah atau satu jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP).


C.   RJP Pada Anak
1.      Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
2.      Tiup nafas dua kali (tanpa alat atau dengan alat)
3.      Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada telapak tangan di atas  tulang dada, di tengah sternum.
4.      Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun ± 3-4 cm dengan frekuensi 100 kali/menit.

D.    RJP Pada Bayi
1.      Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras
2.      Tiup nafas 2 kali
3.      Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa menggunakan ibu jari tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua tangan melingkari punggung dan dada bayi. Bisa  juga dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari manis langsung menekan dada.
4.      Tekan tulang dada sampai turun kira-kira sepertiga diameter anterio

E.     Gambar – Gambar Tindakan  RJP
1.      Tanda-tanda tersebut adalah tanda-tanda kemungkinan terjadinya cedera pada tulang
belakang bagian leher (cervical), cedera pada bagian ini sangat berbahaya karena disini
tedapat syaraf-syaraf yg mengatur fungsi vital manusia (bernapas, denyut jantung)
a.      Jika tidak ada tanda-tanda tersebut maka lakukanlah Head Tilt and Chin Lift.





Chin lift dilakukan dengan cara menggunakan dua jari lalu mengangkat tulang dagu (bagian dagu yang keras) ke atas. Ini disertai dengan melakukan Head tilt yaitu menahan kepala dan mempertahankan posisi seperti figure berikut. Ini dilakukan untuk membebaskan jalan napas korban. 
b.      Jika ada tanda-tanda tersebut, maka beralihlah ke bagian atas pasien, jepit kepala pasien dengan paha, usahakan agar kepalanya tidak bergerak-gerak lagi (imobilisasi) dan lakukanlah Jaw Thrust
 





Gerakan ini dilakukan untuk menghindari adanya cedera lebih lanjut pada tulang belakang bagian leher pasien.

2.      Sambil melakukan a atau b di atas, lakukan lah pemeriksaan kondisi Airway (jalan napas) dan Breathing (Pernapasan) pasien. Metode pengecekan menggunakan metode Look, Listen, and Feel






Look   : Lihat apakah ada gerakan dada (gerakan bernapas), apakah gerakan tersebut simetris ?
Listen : Dengarkan apakah ada suara nafas normal, dan apakah ada suara nafas tambahan yang
  abnormal (bisa timbul karena ada hambatan sebagian)


3.       Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :
a.       Snoring : suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas  
bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah pengecekan  
langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut







b.      Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).






Crowing : suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan (edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust saja
4.      Jika suara napas tidak terdengar karena ada hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan :
a.       Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak tangan daerah  diantara tulang scapula di punggung
b.      Heimlich Maneuver, dengan cara memposisikan diri seperti gambar, lalu menarik tangan ke arah belakang atas.

 






c.       Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam atas.







Feel : Rasakan dengan pipi pemeriksa apakah ada hawa napas dari korban ?
5.      Jika ternyata pasien masih bernafas, maka hitunglah berapa frekuensi pernapasan pasien itu   dalam 1 menit (Pernapasan normal adalah 12 -20 kali permenit)
6.      Jika frekuensi nafas normal, pantau terus kondisi pasien dengan tetap melakukan Look Listen  and Feel
7.      Jika frekuensi nafas < 12-20 kali permenit, berikan nafas bantuan (detail tentang nafas  bantuan dibawah)
8.      Jika pasien mengalami henti nafas berikan nafas buatan (detail tentang nafas buatan dibawah)
9.      Setelah diberikan nafas buatan maka lakukanlah pengecekan nadi carotis yang terletak di  leher (ceklah dengan 2 jari, letakkan jari di tonjolan di tengah tenggorokan, lalu gerakkan lah jari ke samping, sampai terhambat oleh otot leher (sternocleidomastoideus), rasakanlah denyut nadi carotis selama 10 detik.



 





10.  Jika tidak ada denyut nadi maka lakukanlah Pijat Jantung(figure D dan E , figure F pada bayi), diikuti dengan nafas buatan(figure A,B dan C),ulang sampai 6 kali siklus pijat jantung-napas buatan, yang diakhiri dengan pijat jantung







11.  Cek lagi nadi karotis (dengan metode seperti diatas) selama 10 detik, jika teraba lakukan   Look Listen and Feel (kembali ke poin 11) lagi. jika tidak teraba ulangi poin nomer 17.
12.  Pijat jantung dan nafas buatan dihentikan jika
a.       Penolong kelelahan dan sudah tidak kuat lagi
b.      Pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kematian (kaku mayat)
c.       Bantuan sudah dating
d.      Teraba denyut nadi karotis
13.  Setelah berhasil mengamankan kondisi diatas periksalah tanda-tanda shock pada pasien :
a.       Denyut nadi >100 kali per menit
b.      Telapak tangan basah dingin dan pucat
c.       Capilarry Refill Time > 2 detik ( CRT dapat diperiksa dengan cara menekan ujung kuku pasien dg kuku pemeriksa selama 5 detik, lalu lepaskan, cek berapa lama waktu yg dibutuhkan agar warna ujung kuku merah lagi)
14.  Jika pasien shock, lakukan Shock Position pada pasien, yaitu dengan mengangkat kaki
pasien setinggi 45 derajat dengan harapan sirkulasi darah akan lebih banyak ke jantung

 






15.   Pertahankan posisi shock sampai bantuan datang atau tanda-tanda shock menghilang
16.  Jika ada pendarahan pada pasien, coba lah hentikan perdarahan dengan cara menekan atau  
 membebat luka (membebat jangan terlalu erat karena dapat mengakibatkan jaringan yg  
 dibebat mati)
17.  Setelah kondisi pasien stabil, tetap monitor selalu kondisi pasien dengan Look Listen and
 Feel, karena pasien sewaktu-waktu dapat memburuk secara tiba-tiba.

F.     Tindak  Lanjutan RJP
1.      Nafas Bantuan
Nafas Bantuan adalah nafas yang diberikan kepada pasien untuk menormalkan frekuensi nafas pasien yang di bawah normal. Misal frekuensi napas : 6 kali per menit, maka harus diberi nafas bantuan di sela setiap nafas spontan dia sehingga total nafas permenitnya menjadi normal (12 kali).
Prosedurnya :
a.       Posisikan diri di samping pasien
b.      Jangan lakukan pernapasan mouth to mouth langsung, tapi gunakan lah kain sebagai
pembatas antara mulut anda dan pasien untuk mencegah penularan penyakit2
c.       Sambil tetap melakukan chin lift, gunakan tangan yg tadi digunakan untuk head tilt untuk
menutup hidung pasien (agar udara yg diberikan tidak terbuang lewat hidung).
d.      Mata memperhatikan dada pasien
e.       Tutupilah seluruh mulut korban dengan mulut penolong




f.       Hembuskanlah nafas satu kali ( tanda jika nafas yg diberikan masuk adalah dada pasien
Mengembang)
g.      Lepaskan penutup hidung dan jauhkan mulut sesaat untuk membiarkan pasien
menghembuskan nafas keluar (ekspirasi)
h.      Lakukan lagi pemberian nafas sesuai dengan perhitungan agar nafas kembali normal


2.      Pijat Jantung

            Pijat jantung adalah usaha untuk “memaksa” jantung memompakan darah ke seluruh tubuh, pijat jantung dilakukan pada korban dengan nadi karotis yang tidak teraba. Pijat jantung biasanya dipasangkan dengan nafas buatan (seperti dijelaskan pada algortima di atas)
Prosedur pijat jantung :
a.       Posisikan diri di samping pasien
b.      Posisikan tangan seperti gambar di center of the chest ( tepat ditengah-tengah dada)
 






c.       Posisikan tangan tegak lurus korban seperti gambar







d.      Tekanlah dada korban menggunakan tenaga yang diperoleh dari sendi panggul (hip joint)
e.       Tekanlah dada kira-kira sedalam 4-5 cm (seperti gambar kiri bawah)

 





f.       Setelah menekan, tarik sedikit tangan ke atas agar posisi dada kembali normal (seperti gambar kanan atas)
g.      Satu set pijat jantung dilakukan sejumlah 30 kali tekanan, untuk memudahkan menghitung  
dapat dihitung dengan cara menghitung sebagai berikut :
1)         Satu Dua Tiga EmpatSATU
2)         Satu Dua Tiga Empat DUA
3)         Satu Dua Tiga Empat TIGA
4)         Satu Dua Tiga Empat EMPAT
5)         Satu Dua Tiga Empat LIMA
6)         Satu Dua Tiga Empat ENAM

h.      Prinsip pijat jantung adalah :
1)         Push deep
2)         Push hard
3)         Push fast
4)         Maximum recoil (berikan waktu jantung relaksasi)
5)         Minimum interruption (pada saat melakukan prosedur ini penolong tidak boleh diinterupsi)


III.    SOP OBAT EMERGENCY/RESUSITASI

A.   Pengertian
1.      koreksi hipoksia
2.      mempertahankan sirkulasi spontan pada kondisi tekanan darah (TD) yang adekuat
membantu optimalisasi fungsi jantung
3.       menghilangkan nyeri
4.       koreksi asidosis
5.       mengatasi gagal jantung kongestif

B.        Obat-Obat Resusitasi Jantung-Paru Dan Obat-Obat Perbaikan Sirkulasi
1.    Oksigen
2.   meningkatkan TD : epinefrin/adrenalin, vasopresin, dopamine
3.   meningkatkan denyut jantung/nadi (HR : Heart Rate) : atropine
4.   menurunkan/mengatasi aritmia ventrikel : amiodaron, lidokain/lignokain, prokainamid, magnesium sulfat
5.   menurunkan/mengatasi aritmia supraventrikel : adenosin, diltiazem, amiodaron
6.   obat-obat untuk IMA : morfin, nitrogliserin, aspirin, fibrinoli
7.   Lain-lain

C.       Obat Resusitasi Jantung-Paru (Rjp)
1.      Epinefrin/adrenalin.
2.      Amiodaron.
3.       Lidokain.
4.      Atropin.

D.       Obat Perbaikan Sirkulasi
1.      Dopamin
2.      Dobutamin
3.      Noradrenalin

E.      Lain-Lain
1.      Furosemid
2.      Morfin
3.      Nitrogliserin
4.      Digoksin
5.      Aminofilin














BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
            Shock adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sirkulasi darah perifer/tepi yang menyeluruh, sehingga aliran darah ke jaringan perifer tidak memadai untuk menunjang hidup
            Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.
            Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.







DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

·         Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.
·         Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta,
hal : 193.
·         Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus, No.  
80, hal : 137-129, 1992.
·         Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical
Industries, 1985.

1 komentar: